Lombok Timur, Edigital.My.id _ Bicara mengenai hutan tentu saja kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah HUTAN adalah Sebagai Paru-Paru Dunia. Kenapa hutan dikatakan sebagai paru-paru dunia ? Dikutip dari laman CNN Indonesia dijelaskan bahwa Hutan merupakan salah satu penyerap emisi karbon terbesar di dunia.
Indonesia sendiri di tahun 2013 berada di peringkat ketiga hutan terluas versi information Forest Watch Indonesia (FWI). Indonesia sendiri terkenal akan hujan hutan tropisnya. Sehingga pantas saja Indonesia dijuluki sebagai Paru-Paru Dunia.
Kegunaan hutan bagi kehidupan bisa kita anggap sebagai “kebutuhan pokok” yang tidak ternilai harganya, Coba bayangkan apabila hutan di dunia ini tak ada, maka bisa dipastikan bahwa dunia ini bakal jadi sangat panas. Persediaan air tawar juga bakal cepat habis karena tak ada hutan sebagai area resapan. Yang tentu tingkat polusi bakal makin meningkat juga.
Lantas bagaimana kondisi hutan di Desa kita saat ini ? Apakah masih asri ataukah sudah berubah menjadi lahan pertanian ?
Sebut saja salah satu hutan di perbatasan antara Desa Wanasaba dan Desa Suela Kabupaten Lombok Timur yaitu Hutan Wanasaba Tempos Suela tidak selebat seasri seperti dulu lagi. Sebagian hutan tersebut pohonnya ditebang dan dijadikan ladang persawahan untuk digarap oleh masyarakat. Sehingga berdampak kepada ekosistem flora maupun faunanya.
Hewan-hewan yang ada disana punah menghilang entah kemana. Dan yang masih dominan kita lihat disana adalah kera (monyet). Dan hewan-hewan tersebut (monyet/kera) kini berkeliaran dan memakan tanaman yang ditanam oleh masyarakat diarea sekitar hutan. Tentu saja ini akibat dari ulah manusia itu sendiri. Ibarat Filasafat dalam hikayat sasak disebutkan " Ia te peta, Ie ta dait " artinya apa yang kita lakukan, maka kita akan dapatkan.
Kini kondisi Hutan Wanasaba Tempos Suela tinggal nama, yang kita lihat sekarang disana bukanlah pepohonan besar menjulang akan tetapi itu adalah tanaman yang ditanam oleh masyarakat sekitar. Seperti Jagung, Padi gogoh, Kayu Jati dan berbagai jenis tanaman palawija lainnya.
Dan apabila musim panas (Kemarau ) tiba, kawasan Hutan Tempos Suela terlihat menguning dan tidak digarap lagi oleh masyarakat sekitar karena memang bercocok tanam yang dilakukan disana masih bersifat tadah hujan ( mengandalkan air hujan).
Jika hal ini terus-menerus dibiarkan maka akan merusak ekosistem hutan, alangkah indahnya jika sisa-sisa pepohonan yanga ada pada Hutan di jaga, dan yang sudah ditebang atau kering diganti ( reboisasi). (*)